Jumat, 17 Agustus 2012

Kerusuhan Kerusuhan Di Indonesia


  •     Kerusuhan Surakarta
Latar belakang
Kesultanan Mataram yang runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan
dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru.

Perkembangan

Kerajaan Mataram yang berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.

Masa Kemerdekaan

Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  •     Kerusuhan sampit

Latar belakang

Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
Versi lain mengklaim bahwa konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.

Respon

Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit. Polisi uga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28 Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan,[11] namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.

  •     Kerusuhan poso
Penyebab/akar dari konflik sosial yang terjadi di poso
Pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :

a. Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan ramadhan.
b. Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa, dan gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.
c. Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di        daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d. Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke agamaan kristiani pada kerusuhan ke III.
e. Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.
f.  Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.
g.  Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.
h.  Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan III.

Solusi dari konflik di poso
Mungkin saja salah satunya yaitu kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. “Jangan hanya bergantung pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat, mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel. Seluruh kalangan itu harus bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera berakhir, termasuk antara ulama dengan umaro juga harus bersatu. “Mereka harus bersanding, bukannya bertanding,”.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.

    Kerusuhan Jakarta
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa  terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
  •     Kerusuhan ambon
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam mengungkap kronologi kerusuhan di Kota Ambon yang terjadi hari ini, Minggu (11/9/2011).
Menurut dia, hal tersebut bermula dari kecelakaan yang terjadi pada seorang tukang ojek bernama Darkin Saimen. Ia mengalami kecelakaan tunggal.
"Kejadian dari kecelakaan murni yang dialami Darkin Saimen yang mengendarai sepeda motor. Ia dari arah stasiun TVRI, Gunung Nona, menuju pos Benteng," kata Anton.
"Di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, yang bersangkutan hilang kendali dan menabrak pohon gadihu. Ia kemudian menabrak rumah seorang warga di sana bersama Okto," papar Anton di Mabes Polri, Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan, nyawa tukang ojek itu tak terselamatkan sebelum sampai ke rumah sakit. Hal inilah yang menimbulkan dugaan ia sebenarnya dibunuh, bukan karena kecelakaan. 
"Dia dibawa ke rumah sakit dan meninggal. Lalu, ia diisukan dibunuh. Padahal, ia mengalami kecelakaan. Hasil otopsi dari dokter di sana bilang, dia kecelakaan murni. Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, semua tidak ada tanda-tanda kekerasan. Itu kecelakaan murni," tutur Anton.
Pertikaian akibat kematian pria tersebut, kata Anton, terjadi antara dua kelompok. Mereka saling melempar batu dan merusak sejumlah fasilitas. "Dua kelompok memang melakukan lempar-melempar dan sekarang sudah diredam. Itu ada dua kelompok lama. Ya, kami tidak usah sebutkan. Tapi, yang jelas sudah bisa dikendalikan. Kami sudah memonitor perkembangan selanjutnya," ia menegaskan.
  •     Kerusuhan situ bondo
KERUSUHAN Situbondo dan Tasikmalaya sudah usai hampir sebulan lampau, namun pembicaraan tentangnya masih juga belum usai. Belakangan, disebut-sebut apa yang dinamakan Operasi Naga Hijau, yang diduga melakukan pancingan-pancingan agar warga Nahdlatul Ulama (NU) di beberapa tempat marah dan melakukan aksi massal.
Mengapa NU? Kecurigaan itu bisa dimengerti karena kerusuhan tersebut terjadi di dua daerah yang merupakan basis NU. Dalam Insiden Situbondo, Jawa Timur (Jatim), tanggal 10 Oktober lalu, rakyat Situbondo yang kebanyakan warga NU berasal dari Madura tergerak karena tak puas setelah Saleh, seorang yang menghina agama Islam, hanya dituntut lima tahun. Akibatnya, 56 gedung terbakar (24 di antaranya gereja) dan lima orang mati terpanggang. Akan halnya di Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar) kerusuhan tanggal 26 Desember lalu berawal dari aksi pemukulan beberapa polisi terhadap K.H. Mahmud Farid, guru di Pondok Pesantren Riadulum wal Dakwah. Akibatnya lebih dahsyat lagi. Lebih dari 70 bangunan dan 107 kendaraan terbakar dan empat orang meninggal karenanya.
Kejadian hampir beruntun di gudang NU itu membuat Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid mengambil langkah-langkah cepat. Ketika Situbondo meletus, Gus Dur, yang saat itu sedang berada di Roma untuk suatu acara diskusi keagamaan, segera mengirim faksimile ke media-media massa. Isinya: permintaan maaf karena kejadian di Situbondo itu hampir dipastikan akan melibatkan warga NU. Belakangan, setelah tim pencari fakta dari Gerakan Pemuda Ansor bergerak, ada beberapa indikasi bahwa kasus itu direkayasa oleh beberapa pihak.
Kemudian terjadi lagi kasus Tasikmalaya. Aksi tersebut membuat kiai unik itu sibuk berkeliling ke mana-mana untuk menjelaskan posisi NU. Dalam kasus Tasikmalaya memang salah seorang yang disangka sebagai dalang kini sedang dikejar. Kabarnya, ia adalah Sekretaris Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tasikmalaya, sebuah organisasi kemasyarakatan pemuda NU. “Tapi, semua tingkahnya adalah atas nama pribadi dan tak pernah dilaporkan dalam rapat,” ujar Gus Dur. Ia lalu mengingatkan bahwa di samping Mimih, Sekretaris PMII itu, masih ada tokoh dari organisasi yang lain yang tak pernah disebut-sebut oleh aparat keamanan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar