- Kerusuhan Surakarta
Latar belakang
Kesultanan Mataram yang runtuh
akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di
Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk
pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat
dukungan
dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yang berpusat di Kartasura itu mengalami
keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura
barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Pakubuwana
II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian
memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan
Mataram yang baru.Perkembangan
Kerajaan Mataram yang berpusat di
Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan
yang besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yang meninggalkan keraton menggabungkan
diri dengan Raden Mas Said. Di tengah
ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan
kedaulatan negerinya kepada VOC, yang diwakili
oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat
itu, VOC lah yang dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pada
tanggal 13 Februari 1755
pihak VOC yang sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi
berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yang tidak mau berdamai. Semula
Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yang ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, dan Mangkubumi, melahirkan
dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi sebagai
raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan
Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya
waktu, negeri Mataram yang dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal
dengan
nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yang dipimpin oleh Pakubuwana
terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta
semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden
Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan
berstatus kadipaten, yang disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai
penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara. Wilayah
Surakarta berkurang lebih jauh lagi setelah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan
kepada Belanda sebagai ganti
rugi atas biaya peperangan.
Masa Kemerdekaan
Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (1945 - 1946), Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi
karena kerusuhan dan agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya
diubah menjadi Karesidenan, menyatu dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kerusuhan sampit
Latar belakang
Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah
insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya
antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir terjadi antara Desember
1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk Madura
pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di
bawah program transmigrasi yang
dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah
Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah.
Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga
Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga Madura
memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti
perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan
insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh
serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan
bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok
anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura.
Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat
Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan
diri setelah beberapa anggota mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa
seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah
sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
Versi lain mengklaim bahwa konflik ini
berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.
Respon
Skala pembantaian membuat militer dan polisi
sulit mengontrol situasi di Kalimantan Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk
membantu pasukan yang sudah ditempatkan di provinsi ini. Pada 18 Februari, suku
Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang
diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan ini. Orang yang
ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di
Sampit. Polisi uga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian pertama.
Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sambil
meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28
Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan,[11]
namun kerusuhan sporadis terus berlanjut sepanjang tahun.
- Kerusuhan poso
Penyebab/akar
dari konflik sosial yang terjadi di poso
Pendapat Wapres, konflik sosial yang
terjadi di poso adalah bagian dari konflik individu yang dalam masyarakat yang
secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu sama lain.
Argumen yang mengemuka bahwa adanya
unsur suku dan agama yang mendasari konflik sosial itu adalah sesuai dengan
fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :
a. Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan ramadhan.
b. Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa, dan gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.
c. Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.
d. Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke agamaan kristiani pada kerusuhan ke III.
e. Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III. Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan islam.
f. Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak, pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.
g. Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.
h. Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum meledak kerusuhan III.
Solusi dari konflik di poso
Mungkin saja salah satunya yaitu
kalangan pengusaha hingga tingkat mahasiswa harus ikut berperan menangani
konflik yang terjadi di Poso dengan melakukan tindakan nyata agar masyarakat
setempat tidak hanya terfokus pada masalah politik. “Jangan hanya bergantung
pada aparat keamanan. Tetapi pengusaha, ekonom, budayawan, anggota masyarakat,
mahasiswa harus bersatu membangun secara paralel. Seluruh kalangan itu harus
bekerja sama agar kerusuhan di Poso segera berakhir, termasuk antara ulama
dengan umaro juga harus bersatu. “Mereka harus bersanding, bukannya
bertanding,”.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.
Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat tidak menyalahi aturan, meskipun upaya penegakan hukum telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil serta anggota Polri , karena memang kejadian itu sulit dihindari. kerusuhan yang menimpa di Poso merupakan rekayasa dan berasal dari luar Poso yakni dari pihak asing. Ia mengingatkan, kelompok sipil bersenjata yang berada di tengah-tengah masyarakat Poso perlu mendapat perlakukan khusus, karena dalam keadaan seperti ini, masyarakat akan menjadi tameng bagi mereka.
Kerusuhan
Jakarta
Kerusuhan Mei
1998
adalah kerusuhan yang terjadi di
Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta namun juga
terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial
Asia
dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat
mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan
terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan
perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan
terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat
ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa
dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian
bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam
kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang
meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu,
seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata
Haryono,
yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan
dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan
dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko
di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan
"Milik pribumi" atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat
mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan
terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak
pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di
hampir seluruh benua Eropa oleh
pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai
bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun
terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret
tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan
ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih
banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian
umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini
merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak,
terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian
(genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah
kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh
pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke
masyarakat.
- Kerusuhan ambon
Kepala Divisi Humas
Polri Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam mengungkap kronologi kerusuhan di
Kota Ambon yang terjadi hari ini, Minggu (11/9/2011).
Menurut dia, hal tersebut
bermula dari kecelakaan yang terjadi pada seorang tukang ojek bernama Darkin
Saimen. Ia mengalami kecelakaan tunggal.
"Kejadian dari kecelakaan murni yang dialami Darkin
Saimen yang mengendarai sepeda motor. Ia dari arah stasiun TVRI, Gunung Nona,
menuju pos Benteng," kata Anton.
"Di daerah sekitar tempat pembuangan sampah, yang
bersangkutan hilang kendali dan menabrak pohon gadihu. Ia kemudian menabrak
rumah seorang warga di sana bersama Okto," papar Anton di Mabes Polri,
Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan, nyawa tukang
ojek itu tak terselamatkan sebelum sampai ke rumah sakit. Hal inilah yang
menimbulkan dugaan ia sebenarnya dibunuh, bukan karena kecelakaan.
"Dia dibawa ke rumah
sakit dan meninggal. Lalu, ia diisukan dibunuh. Padahal, ia mengalami
kecelakaan. Hasil otopsi dari dokter di sana bilang, dia kecelakaan murni.
Berdasarkan keterangan saksi dan hasil otopsi, semua tidak ada tanda-tanda
kekerasan. Itu kecelakaan murni," tutur Anton.
Pertikaian akibat kematian
pria tersebut, kata Anton, terjadi antara dua kelompok. Mereka saling melempar
batu dan merusak sejumlah fasilitas. "Dua kelompok memang melakukan
lempar-melempar dan sekarang sudah diredam. Itu ada dua kelompok lama. Ya, kami
tidak usah sebutkan. Tapi, yang jelas sudah bisa dikendalikan. Kami sudah
memonitor perkembangan selanjutnya," ia menegaskan.
- Kerusuhan situ bondo
KERUSUHAN Situbondo
dan Tasikmalaya sudah usai hampir sebulan lampau, namun pembicaraan tentangnya
masih juga belum usai. Belakangan, disebut-sebut apa yang dinamakan Operasi
Naga Hijau, yang diduga melakukan pancingan-pancingan agar warga Nahdlatul
Ulama (NU) di beberapa tempat marah dan melakukan aksi massal.
Mengapa NU? Kecurigaan itu
bisa dimengerti karena kerusuhan tersebut terjadi di dua daerah yang merupakan
basis NU. Dalam Insiden Situbondo, Jawa Timur (Jatim), tanggal 10 Oktober lalu,
rakyat Situbondo yang kebanyakan warga NU berasal dari Madura tergerak karena
tak puas setelah Saleh, seorang yang menghina agama Islam, hanya dituntut lima
tahun. Akibatnya, 56 gedung terbakar (24 di antaranya gereja) dan lima orang
mati terpanggang. Akan halnya di Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar) kerusuhan
tanggal 26 Desember lalu berawal dari aksi pemukulan beberapa polisi terhadap
K.H. Mahmud Farid, guru di Pondok Pesantren Riadulum wal Dakwah. Akibatnya
lebih dahsyat lagi. Lebih dari 70 bangunan dan 107 kendaraan terbakar dan empat
orang meninggal karenanya.
Kejadian hampir beruntun di
gudang NU itu membuat Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid mengambil
langkah-langkah cepat. Ketika Situbondo meletus, Gus Dur, yang saat itu sedang
berada di Roma untuk suatu acara diskusi keagamaan, segera mengirim faksimile
ke media-media massa. Isinya: permintaan maaf karena kejadian di Situbondo itu
hampir dipastikan akan melibatkan warga NU. Belakangan, setelah tim pencari
fakta dari Gerakan Pemuda Ansor bergerak, ada beberapa indikasi bahwa kasus itu
direkayasa oleh beberapa pihak.
Kemudian terjadi lagi kasus Tasikmalaya. Aksi tersebut
membuat kiai unik itu sibuk berkeliling ke mana-mana untuk menjelaskan posisi
NU. Dalam kasus Tasikmalaya memang salah seorang yang disangka sebagai dalang
kini sedang dikejar. Kabarnya, ia adalah Sekretaris Perhimpunan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Tasikmalaya, sebuah organisasi kemasyarakatan pemuda NU.
“Tapi, semua tingkahnya adalah atas nama pribadi dan tak pernah dilaporkan
dalam rapat,” ujar Gus Dur. Ia lalu mengingatkan bahwa di samping Mimih,
Sekretaris PMII itu, masih ada tokoh dari organisasi yang lain yang tak pernah
disebut-sebut oleh aparat keamanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar